Kemarin-kemarin ada yang mengganggu pikiran saya. Saya membaca tweet dari seorang teman yang mengobrol dengan seorang bapak-bapak tukang sol sepatu. Di tweetnya itu, teman saya menulis:
“habis ngobrol2 sama tukang sol sepatu. miris denger istrinya udah meninggal, anak ada 6.. trus tinggalnya di kamar 4×5”
Kalau lagi ketemu sama hal-hal seperti ini, ntah itu saya sendiri yang ngobrol sama orang-orang seperti bapak sol sepatu itu, ataupun mendengar atau membaca pengalaman orang lain, saya pasti langsung merasa sangat bersyukur dengan keadaan saya yang sekarang. Tiba-tiba saja hasrat saya yang pengen ini-itu hilang begitu saja, bayangan iPad terbaru dari Apple, iMac untuk jadi desktop saya, mobil buat ke kampus, SLR yang udah dipengenin dari beberapa tahun lalu, handphone baru, dll semuanya tiba-tiba aja jadi nggak menarik buat saya.
Syukur-syukur saya bisa makan 3 sehari (bahkan kadang lebih), syukur-syukur saya bisa kuliah di kampus yang bayaran bisa dijadiin modal untuk buka toko, syukur-syukur saya bisa les Bahasa Jerman dan Perancis, syukur-syukur saya masih bisa nonton bioskop (hampir) seminggu sekali, syukur-syukur saya bisa ngerasain makan J.Cool.
Kalau sudah sampai di tahap itu, biasanya saya langsung mikir agak jauh lagi. Kok, rasa-rasanya dunia nggak adil ya?
Ada orang yang kaya banget dan keluarganya juga bahagia banget, di sisi yang lain, masih bisa juga ketemu sama orang yang sudah hidupnya serba kekurangan, keluarganya juga nggak harmonis (atau mungkin malah sudah kehilangan anggota keluarganya). Sementara ada orang-orang kaya yang mengeluh karena uang sakunya tinggal 500 ribu disaat weekend, orang-orang yang serba kekurangan malah bersyukur banget punya 50,000 di saat weekend, lumayan untuk ngisi perut.
Orang tua saya juga pernah merasakan menjadi orang yang hidupnya dalam taraf “cukup”. Nenek saya (Mbah Yi) adalah ibu dari 7 orang anak. Eyang kakung saya (suami Mbah Yi) sudah meninggal sejak ibu saya (anak terakhir) masih kecil. Jadilah, nenek saya yang harus kerja banting tulang untuk membiayai hidup ketujuh orang anaknya. Nenek saya sering cerita, menu makanan keluarganya dulu cuma nasi, pakai parutan kelapa saja ditambah satu telur dadar yang dipotong jadi 8. Nenek saya juga cerita betapa senengnya anak-anak nenek saya kalau ada nikahan orang, karena berarti itu tandanya mereka semua bisa makan daging. Saya nggak terlalu tau tentang keluarga bapak saya karena saya memang nggak terlalu deket sama keluarga bapak saya.
Tapi, dari cerita-cerita nenek saya itu, kurang lebih saya dapet gambaran seperti apa sih yang dirasakan sama bapak –bapak sol sepatu itu. Memang bener, saya nggak pernah bener-bener ngerasain hidup tanpa ibu, dan tinggal di rumah yang berukuran 4×5, tapi, dari kecil saya diajarin ‘hidup susah’ kok sama nenek saya. Walaupun saya memang cucu kesayangan nenek saya, dan saya sering banget dapet uang saku tambahan yang jumlahnya wow banget buat saya, tapi nenek saya selalu ngingetin saya kalo keluarga saya dulunya juga orang susah. Saya pernah kok ngerasain makan nasi sama garam doang, kalau saya pulang ke Sumberjo, ke desa Kapas, saya diajak ke rumah orang-orang yang memang kekurangan.
Saya jadi ingat lebaran terakhir saya di Bojonegoro, di Desa Kapas. Saya mengunjungi sebuah rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Yang meninggali rumah itu adalah seorang nenek yang sudah sangat berumur. Nenek itu tinggal sendirian, di rumah berukuran sangat kecil, di mana dapur dan ruang tidurnya jadi satu, Nggak ada ruangan lain di dalam rumah itu. Untuk membuka pintunya pun susah. Kondisi kesehatan nenek itu sudah cukup buruk. Nenek ini nggak punya anak maupun cucu. Oleh karenanya beliau tinggal sendirian, tapi nggak sekalipun beliau merasa kesepian. Beberapa anak muda di desa itu, yang rumahnya dekat dengan beliau, nggak pernah ragu untuk membantu beliau, mulai dari mencarikan bahan makanan, sampai membenarkan rumah beliau kalo kondisi rumahnya sudah mulai miring-miring (seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, rumah beliau hanya terbuat dari anyaman bambu). Bagi beliau sekumpulan anak muda yang selalu membantu beliau itu seperti cucu-cucu yang tak ternilai harganya. Bahkan, ketika saya mengunjungi nenek itu sambil membawa sedikit makanan yang memang sengaja dibuat untuk dibagi-bagikan pada warga sekitar situ, sang nenek malah memanggil anak-anak muda yang biasa membantu beliau dan mengajak mereka makan bersama beliau, padahal, saya yakin beliau jarang sekali mendapat makanan seperti yang saya bawa saat itu, dan saya juga yakin kalau untuk anak-anak muda yang biasa membantu beliau, makanan yang saya bawa saat itu adalah hal yang bisa mereka dapatkan di rumah mereka. Tapi, bagi sang nenek, berbagi makanan dengan mereka yang merupakan hal yang lebih mengenyangkan daripada jika beliau sendirian menghabiskan semua makanan yang saya bawa kesana. “Aku iki wis tuwo. Panganan iku rasane wis podo kabeh. Rosone wis podo, ra ono bedane. Tapi yo nek aku mangan karo bocah-bocah iki baru ono rosone. Enake keroso.”, Kira-kira begitu yang dikatakan beliau dulu. Artinya dalam bahasa Indonesia kira-kira: “Aku ini sudah tua. Makanan rasanya sudah sama semua. Rasanya sama, nggak ada bedanya. Tapi kalau aku makan bersama anak-anak ini baru ada rasanya. Enaknya kerasa.”.
Saya nggak pernah tau persis apa yang mereka rasakan, baik sang nenek yang baru aja saya ceritakan, maupun bapak sol sepatu yang ditemui teman saya. Tapi, setiap kali saya disadarkan dengan keadaan orang-orang seperti itu, saya makin kembali bisa merasa bersyukur. Bahkan sekarang ini saya sangat bersyukut bisa mengetik di sebuah macbook, ah, tidak usah macbook, seandainya pun saat ini saya cuma bisa mengetik lewat sebuah mesin tik pun saya akan sangat bersyukur, setidaknya saya mempunyai sesuatu yang bisa saya pakai untuk menuangkan apa yang ada di kepala saya saat ini.
Saat ini, saya cuma bisa berterimakasih pada Tuhan atas apa yang sudah ada pada diri saya. Saya tau saya masih banyak mengeluh belum bisa bersyukur, masih banyak keinginan. Tapi, setiap kali saya merasa begitu banyak yang saya inginkan, biasanya Tuhan selalu kembali mengingatkan saya untuk kembali mengintip ke bawah, melihat realita yang tidak selamanya manis. Realita yang memang pahit, tapi memang nyata, memang ada, memang bisa dilihat, didengar, dan dirasa. Di titik inilah saya sadar bahwa saya tidak seharusnya hobi mengeluh. Mungkin saya harus kembali ke Sumberjo, menengok kembali desa di mana nenek saya mengajarkan banyak hal. Atau mungkin sebenarnya saya hanya harus kembali menemukan quality time saya dimana saya bisa merenungkan banyak hal daripada hanya sekedar mendownload begitu banyak file ke dalam macbook saya dan lalu menggerutu tak habis-habis ketika saya sadar bahwa harddisk saya tidak cukup untuk menampung semua hasil download-an saya, dan kemudian gerutu itu akan berlanjut pada racauan tak terhingga tentang betapa saya mengingnkan sebuah harddisk eksternal.
Mungkin, tweet dari teman saya adalah sebuah pancingan dari Tuhan supaya saya kembali bisa bersyukur setelah saya terlalu lama takabur dalam hal-hal keduniawian.
*foto diambil dari google