Ada tiga hal yang bisa membuat saya benar-benar larut dalam biru:
Sore, kopi hitam, dan hujan.
Tidak perlu ketiganya untuk meluruhkan saya yang berpura-pura mandiri. Tidak perlu ketiganya untuk membuat saya terdiam seribu bahasa. Cukup gabungan dari dua hal diatas selalu berhasil membuat saya larut dalam lamunan dan terbawa dalam kenangan bertahun-tahun lalu, di teras depan sebuah rumah sederhana:
Seorang nenek berbincang akrab dengan cucu perempuannya di teras depan rumah, ditemani gemericik hujan sore, secangkir kopi hitam untuk sang nenek, segelas susu putih panas untuk si cucu. Si cucu bercerita mengenai kenakalan-kenakalannya di sekolah, sementara sang nenek mendengarkan dengan atensi penuh kemudian tertawa ketika si cucu bercerita tentang kekonyolan yang dilakukan. Kemudian, sang nenek ganti bercerita tentang masa kolonial yang dialaminya ketika muda dulu. Kisah yang berulang kali dituturkan tapi tak sekalipun si cucu bosan mendengarnya. Sesekali si cucu merajuk untuk ikut menyeruput kopi hitam sang nenek, walaupun berkali-kali sang nenek melarang, tak ada bosannya ia merajuk bahkan setengah memaksa hanya untuk merasakan sensasi pahit diselingi sedikit manis dan diakhiri dengan aroma semerbak di rongga mulut. Terkadang sang nenek mengalah ketika lelah dengan paksaan si cucu, kemudian si cucu menyambar cangkir berisi kopi hitam, menyeruputnya, bergidik karena rasa pahit, dan cepat-cepat meletakkan cangkir tersebut, dan meminum susu putihnya cepat-cepat. Sang nenek tertawa dan balas memaksa si cucu untuk menghabiskan kopi hitamnya.
Perkenalan saya dengan kopi dan kenangan saya dengan nenek saya seakan menjadi rekaman yang selalu berputar setiap kali rintik hujan sore datang, kemudian tanpa diperintah saya akan memanaskan air dan menyeduh kopi hitam untuk saya nikmati sambil memandangi tetesan air yang hilang diresap tanah seakan itu adalah tontonan yang paling menarik di dunia. Sudah empat belas tahun sejak nenek saya pergi, dan tidak pernah sekalipun saya bosan memandangi rintik hujan di sore hari, ditemani secangkir kopi dan sepenggal kenangan.
You can’t see their smile or bring them food or tousle their hair or move them around a dance floor. But when those senses weaken another heightens. Memory. Memory becomes your partner. You nurture it. You hold it. You dance with it.
Mbah Yi ya jeng?? ^__^
btw, typo tuh tuh… secangir siapanya secangkir jeng… 😛
Iyooo sapose lagi coba? Hahaha
Iyaaa itu typooo udh dibenerin kok. Hoho thanks yooo
Selalu suka deh baca tulisan2 kamu apalagi kalau pake bahasa Inggris #klansaraswatijayaselalu
Awwwww, Mbak Mya bisa ajaaaa… Aku pun suka sekali baca tulisan Mbak Mya… Mana updateee?? Huwehehehe
count me in 😄
akupun selalu terbawa dlm sensasi baru pas baca tulisan kaka
thanks karna sudah membaginya dengan aku dan mereka😊
Awww, senangnyaaa baca komen kamuuuu
Makasih ya for appreciating my piece of works. Love to read yours as well 🙂
you’re very welcome ka ^_^
have i told you how i adore your story?? wkwkwk
well i hope we can share experience baik itu dlm menulis dll hehehe
terutama sih kaka..
aku penasaran nih sama kaka yg satu ini wkwkwkw
sepertinya banyak sekali pengalamannya di dunia PR
boleh kan?
Oh No!!! you already read mine?
hahaha jangan ka.. aku maluuuuuuu… hehehe
really? even that weird stories in 30 creative stories challenge?
pengalaman di dunia PR? hahaha no, no, no. aku justru ga ada pengalaman sama sekali di dunia PR. kuliah dulu juga ga belajar tentang PR. tapi ya kalo emang bisa sharing, why not 🙂
yes tapi blm baca semua sih..
aku mau spam komen soalnya wkwkwk
sebisa mungkin ak tinggalin jejak di tiap postingan kaka wkwkwk
loh.. dulu kaka HI nya ngambil konsentrasi apa?
iya gpp sharing aja ka.. kita sama sama belajar😊😉