Sekarang ini tepat satu jam saya menghabiskan waktu duduk-duduk di dalam sebuah cafe di Kota Bandung. Bermain-main dengan iPod touch saya, lalu berganti memainkan android saya, lalu mengecek BB saya sekilas, dan kembali membaca-baca blog orang-orang yang tidak saya kenal sama sekali. Hal-hal tersebut berulang-ulang saya lakukan sampai akhirnya mata saya menemukan satu judul post blog yang berjudul “Mengapa Harus Menulis??” Saya yang (merasa) suka menulis langsung mengganti posisi duduk dan membaca baik-baik tulisan tersebut.
Sebenarnya tulisan itu nggak se-simple judulnya. Nggak cuma sekedar sok-sok ngasih pendapat kenapa penulisnya suka nulis. Penulisnya habis baca bukunya Fahd Jibran yang berjudul Curhat Setan, dan katanya (well, jujur aja saya belum baca bukunya Fahd Jibran yang ini):
Ada rumus sederhana untuk mengetahui alasan paling mendasari dari apa yang kita lakukan atau kita pilih : Tanyakanlah dengan “lima mengapa”. Biasanya, setelah “lima mengapa”, kau akan tahu, alasan paling mendasar dari apa yang kau lakukan atau yang kau pilih. Setelah “lima mengapa”, kita akan sampai pada suatu yang – biasanya – tak bisa kita tanyakan lagi dengan kata “mengapa” yang lain.
Hal ini cukup membuat saya gatal untuk mencoba. Jadi, yuk mari dicoba…
Mengapa saya suka menulis?
Karena saya nggak jago mengekspresikan diri saya dengan cara lain seperti lewat ucapan dan tindakan langsung.
Mengapa saya nggak jago mengekspresikan diri saya dengan cara lain?
Karena saya takut. Takut terlihat berbeda, takut terlihat aneh, takut dinilai salah, takut mengecewakan orang lain, takut menyakiti orang lain, takut disalah artikan, takut tidak dimengerti, takut tidak dianggap.
Mengapa saya takut?
Karena sejak kecil saya sering mendapati diri saya tiba-tiba berada di posisi bersalah ketika saya mengatakan sesuatu ataupun melakukan sesuatu. Dan ekspresi orang yang menilai saya salah tersebut benar-benar menyakiti saya. Karena seolah-olah apa yang saya katakan atau lakukan adalah kesalahan terbesar dalam hidup. Saya adalah orang yang salah.
Mengapa saya sering mendapati diri saya tiba-tiba berada di posisi bersalah ketika saya mengatakan sesuatu ataupun melakukan sesuatu?
Karena saya berbeda. Saya ini ibaratnya kopi yang dilarutkan dalam air. Saya kopi, dan lingkungan saya dibesarkan adalah air. Ada beberapa yang bisa larut, namun pada akhirnya tetap ada yang mengendap dibawah, basah, tapi tetep nggak bisa larut. Lingkungan saya adalah air, dan saya adalah kopi. Walaupun saya bisa larut, namun nggak pernah larut seutuhnya.
Mengapa saya berbeda?
Karena pemikiran saya tidak dibesarkan langsung dengan lingkungan tempat saya dibesarkan. Nilai-nilai fundamental saya berbeda dengan nilai-nilai fundamental mereka. Pemikiran saya berbeda dengan pemikiran mereka. Dan saya tidak pernah berhasil berkompromi. Karena kompromi berarti melawan. Karena ingin menjadi diri sendiri dianggap egois.
Jujur aja, baru kali ini saya mencoba “5 ‘mengapa’ saya suka menulis”. Dan saya kaget dengan jawaban yang saya tulis sendiri. Jadi dari situ akarnya? Ini pembelajaran untuk diri saya sendiri sebenarnya. Saya baru tahu dan nggak habis pikir, bagaimana seseorang yang sebenarnya cuma menemani saya selama 10 tahun di masa kecil saya bisa menerapkan pemikiran yang luar biasa beda dengan kebanyakan pemikiran lingkungan tempat saya dibesarkan. Ketika beliau sudah nggak ada, saya baru merasa saya beda. Saya baru tahu, lingkungan saya ternyata tidak sama dengan saya.
Wow, truly surprising. Just try, tumblrina…