Saya pertama kali kenal dia tiga tahun yang lalu. Awalnya biasa saja. Tidak ada yang menarik dari dia. Tidak terlalu ganteng, tidak begitu pintar, tidak begitu manly. Biasa. Dan, bukan tipe saya.
Setengah semester berjalan tanpa saya sadar, kita makin dekat dan terus dekat. Setiap ada kesempatan, dia menghampiri saya, duduk di sebelah saya, mengajak saya mengobrol, mengajak kabur ke kantin, atau cuma sekedar duduk-duduk di depan kelas. Cuma berdua. Saya dan dia. Saya tidak bisa mengelak bahwa saya memang menikmati saat-saat bersama dia. Tapi, itu saja. Tidak lebih. Dia bukan tipe saya.
Orang-orang mulai membicarakan kami. Saya dan dia. Mereka bilang: ‘Kalian cocok deh kalo lagi berduaan. Kenapa ga jadian?’, ‘Memang kamu nggak suka dia? Kalian udah deket banget. Kapan jadiannya?’, ‘Wah, kayanya ada yang bakalan jadian nih bentar lagi.’. Semuanya mengarah pada kami. Saya dan dia. Tapi, terserah apa kata orang. Dia bukan tipe saya.
Lebih lama lagi. Kami masih dekat. Hubungan kami? Teman. Tapi, kali ini ada yang beda. Saya ingin bersama dia. Saya ingin dia terus menghampiri saya di setiap kesempatan. Saya senang jalan berdua dengan dia walau tanpa tujuan. Saya ingin ke kantin walaupun saya tidak mau jajan apa-apa. Saya cuma ingin bersama dia. Apa saya mulai suka? Ah, dia bukan tipe saya.
Satu semester telah lewat. Semester baru sudah sampai di pertengahan. Tidak ada kemajuan. Masih seperti dulu. Tetapi, ada rasa baru setiap saya bareng dia. Sesuatu yang abstrak, tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata tapi selalu bisa mencerahkan hari-hari terburuk saya hanya dengan dia duduk di sebelah saya, mengajak saya kabur ke kantin, duduk di depan kelas atau hanya berjalan-jalan tanpa tujuan. Ada apa dengan saya? Persetan dengan kalimat ‘dia bukan tipe saya’.
Ada berita di satu sore. Berita yang tidak dapat saya cerna. Begitu cepat diucap oleh teman saya. “He’s no longer available, Jeng.”
Dan, untuk pertama kalinya, saya menangis untuk makhluk bernama pria. Menangis karena kesombongan saya yang tidak mau mengakui dari awal bahwa ya, dia memang bisa membuat saya menyukai dia. Menangis karena saya sebegitu kerasnya pada pendirian ‘dia bukan tipe saya’. Menangis karena sekarang saya tahu, pada akhirnya dia memilih yang lain dan bukan saya.
Lalu, saya menghabiskan puluhan hari dengan hiasan gantungan kantung mata di wajah saya. Dan dia masih begitu perhatian. Masih memperhatikan ada apa dengan saya. Tapi, dia tidak lagi menghampiri saya di setiap kesempatan. Dia menghampiri yang lain. Dia tidak lagi mengajak saya kabur ke kantin. Dia mengajak yang lain. Dia tidak lagi mengajak saya duduk berdua di depan kelas. Dia duduk bersama yang lain. Dia tidak lagi mengajak saya berjalan-jalan tanpa tujuan. Dia berjalan bersama yang lain. Dia masih sama seperti yang dulu… Hanya saja, kali ini bukan saya yang bersama dia.
Walau begitu, tidak jarang, dia dengan bebasnya menunjukkan bahwa dia masih memperhatikan saya. Dan, di saat itulah saya merasakan ada yang melihat saya dari kejauhan dengan pandangan menusuk. Terkadang, saya ingin bicara: “Ya, saya tahu… Kamu pacar dia. But no need to be jealous at me. Toh, pada akhirnya dia milih kamu, bukan milih saya. Dia sayangnya sama kamu, makanya dia sekarang sama kamu, bukan sama saya…”
Ah, sudah 3 tahun lewat.
shitto, saya labil banget!